PENEGAKAN HUKUM ISLAM
DALAM
SISTEM HUKUM NASIONAL
Latar Belakang
UUD
1945 tidak menyebutkan bahwa Islam adalah agama resmi negara. Namun hukum Islam
di Indonesia hidup di tengah-tengah masyarakat (living law). Hukum Islam
merupakan hukum material yang menjadi sumber pembentuk hukum di Indonesia, di
samping sumber-sumber lainnya seperti hukum adat dan hukum barat. Keberadaan
Islam sudah ada jauh sebelum terjadinya kemerdekaan. Menurut para ahli, Islam
sudah masuk ke Nusatara pada abad ke-7 dan ke-8 M. Ini terbukti dengan telah
terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam pada masa itu.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki tersebut. Konsekwensinya semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Timbul pertanyaan berkaitan dengan kedudukan hukum dan peraturan yang berdasarkan hukum Islam. Dalam kenyataannya, sistem hukum Indonesia mengakui hukum Islam sebagai hukum positif – dijalankan oleh masyarakat Islam sehari-hari pada bidang-bidang tertentu. Dahulunya hukum ini terbatas pada bidang ahwal asy-syakhsyah (hukum keluarga), tetapi belakangan meluas di bidang muamalat (hukum perdagangan Islam) yang diakibatkan oleh berkembangnya sistem keuangan Islam di Indonesia. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintah perlu mengatur hukum Islam lebih serius untuk bidang-bidang lainnya misalnya haji, zakat wakaf, dan sebagainya.
Oleh karena itu, keberadaan hukum Islam di Indonesia sering menjadi bahan perdebatan berkaitan pendapat pro-kontra menjadikan Islam sebagai dasar negara atau menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Seperti diketahui, Indonesia adalah negara kesatuan di antara keragaman etnis dan agama.
Atas alasan inilah para tokoh pendiri bangsa ingin negeri ini tidak didasarkan kepada salah satu agama tetapi mengakui keberadaan tuhan dan bermacam-macam agama di dalam pemerintahan dan masyarakat. Negara mengizinkan penduduk untuk menjalankan hukum dan norma agama yang mereka anut. Itulah sebabnya kita bisa menemukan aturan-aturan berlandaskan hukum agama, misalnya hukum Islam tentang perkawinan dan warisan. Hukum-hukum tersebut dalam kenyataanya sudah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Itu artinya untuk mengimplementasikan norma-norma hukum Islam tidak harus dalam bentuk negara Islam. Indonesia sudah terbukti sanggup meletakkan hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum di Indonesia tanpa merubah format hukum negara menjadi hukum Islam.
Berdasarkan keadaan di atas, maka kita perlu mengetahui bagaimana susungguhnya eksistensi dan peran Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional Indonesia.
Pembahasan
Perkembangan Hukum Islam
di IndonesiaAda beberapa teori yang dikemukakan tentang keberadaan hukum Islam di Indonesia. Setidaknya ada tiga teori yang bisa dikemukakan, yaitu: receptio in complexu, receptie, and receptio a contrario. Di antara teori-teori tersebut, maka teori receptio a contrario-lah yang banyak diyakini kebenarannya.
Teori receptio a contrario ini dipelopori oleh Hazairin dan dikembangkan secara sistematis dan dipraktikkan oleh murid-muridnya seperti Sajuti Talib, Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, dan H.M. Tahir Azhari). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hukum adat dengan hukum Islam tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh dikemukakannya sebagai berikut:
a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam, bila seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan, mereka menyampaikannya kepada Ketua Dewan Adat. Dewan adat tersebut kemudian mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dipercikkan kepada kedua calon mempelai. Hal ini menandai selesainya pernikahan. Namun, setelah suku Kaili memeluk agama Islam, maka tata cara perkawinan mereka dilaksanakan sesuai hukum perkawinan Islam.
b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan, bila melakukan pembagian harta warisan kepada anak laki-laki dan anak perempuan didasarkan atas perbandingan yang sama, yakni 1:1. Namun setelah mereka memeluk agama Islam, pembagian harta warisan berubah mengikuti hukum kewarisan Islam, yakni 2:1.
Adapun teori receptio in complexu dipelopori oleh L. W. C. Van den Berg (1845-19270). Ia menyatakan bahwa orang Islam di Indonesia telah menerima hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti dikemukakannya sebagai berikut: Statuta Batavia tahun 1642 menyebutkan bahwa sengketa warisan antara penduduk pribumi yang beraagama Islam harus diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk ini D. W. Freijer menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum warisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh penghulu, kemudian diberlakukan di daerah jajahan VOC.
Penggunaan kitab Mugharrar dan Papakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B. J. D. Cloowijk diberlakukan oleh VOC di wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, selama VOC berkuasa (1602-1800) kedudukan Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan umat Islam Indonesia.
Sedangkan teori receptio dipelopori oleh Snouck Hurgronje (1857-1936) dan dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollen Houven dan Betrand ter Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktik oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut teori ini hukum Islam bukanalah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau diterima oleh hukum adat. Oleh karena itu hukum adatlah menentukan berlaku tidaknya hukum Islam.
Sebagai contoh pengaruh teori receptio saat ini di Indonesia diungkap sebagai berikut: Hukum Islam yang berdasar Quran dan Hadits hanya sebagian kecil mampu dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia. Hukum pidana Islam tidak mempunyao tempat eksekusi bila hukum dimaksud tidak diundangkan di negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu hukum pidana Islam belum pernah berlaku pada pemeluknya secara hukum ketatanegaraan di Indonesia sejak merdeka sampai saat ini. Selain itu hukum Islam baru dapat menjadi hukum yang berlaku bagi pemeluknya secara yuridis formal bila hukum itu telah diundangkan.
Untuk beberapa abad lamanya, ajaran Hukum Islam pernah dianggap sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat.
Hukum Islam dan masyarakat dianggap sebagai dua dunia yang terpisah, yang satu dianggap sebagai “keakhiratan” dan yang lain dianggap sebagai “keduniaan”. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Hukum Islam justru erat sekali hubungannya dengan masyarakat, dan ia berlaku bagi seluruh manusia dalam segala bentuk dan susunan masyarakatnya.
Sejarah perjalanan di Indonesia, kehadiran Hukum Islam dalam Hukum Nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi tersebut merumuskan keadaan Hukum Nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa Hukum Islam itu ada dalam Hukum Nasional Indonesia baik tertulis maupun yang tidak tertulis, ia ada dalam lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.
Secara empirik, tidaklah berlebihan jika dikatakan, Hukum Islam di Indonesia adalah hukum yang hidup (the living law). Kendatipun secara formal, aspek-aspek pengaturan tertentu, Hukum Islam belum dijadikan sebagai referensi hukum dalam bernegara. Secara teoritik, ada perbedaan subtansial antara Hukum Islam dan Hukum Positif. Hukum Positif pelaksanaanya dikawal langsung oleh Negara, sedangkan Hukum Islam, terutama Pidana Islam, justru dikawal sendiri oleh masyarakat Islam. Faktanya, justru sering terjadi suatu argument hukum positif berlawanan dengan argument hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Faktor-faktor Pendukung dalam Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Perkembangan Islam di Indonesia juga dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, latar belakang sosiologis dan demokratisasi.
Pertama adalah latar belakang sejarah. Kerajaan terakhir di Indonesia adalah diperintah di bawah hukum Islam. Sebagai akibatnya, perjuangan melawan imperialisme Belanda juga dirintis melalalui semangat keislaman.
Hukum Islam megajarkan kepada pengikutnya untuk menentang aksi penjajahan. Upaya untuk menentang segala bentuk penjajahan dianggap sebagai jihad, yaitu usaha secara konsisten untuk melenyapkan segala bentuk kezaliman dengan menegakkan kebenaran dan prinsip/hukum Islam. Dan balasannya bagi yang syahid dalam perjuangan adalah surga. Itulah (jihad) yang menjadi motif utama seorang muslim untuk menentang imperialisme.
Kedua, penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah menginternalisasi ke dalam kehidupan masyarakat. Meskipun agama-agama lain diakui keberadaannya dan hidup berdampingan secara harmonis dengan agama Islam, tetapi agama Islamlah yang menjadi cermin masyarakat Indonesia. Islam menjadi simbol pemersatu keanekaragaman penduduknya yang terdiri dari berbagai etnis dan agama.
Ketiga, faktor demokratisasi. Demokratisasi memberikan peluang seluas-luasnya bagi warga negara berpartisipasi dalam pemerintahan. Partisipasi bisa disalurkan dengan menjadi anggota partai politik dan memilih mereka menjadi anggota pearlemen. Itu artinya demokrasi juga membuka kesempatan kepada umat Islam untuk mengimplementasikan keberadaannya dalam masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan Islam seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
Merujuk kepada pasal 28E UUD 1945, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Hak untuk bebas berserikat adalah salah satu bagian dari demokratisasi. Oleh karena itu, Islam tidak hanya rutinitas ritual agama semata, lebih jauh Islam sudah menyatu dalam keseharian masyarakat.
Posisi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia .
Hukum Islam sudah menjadi bagian dari sistem hukum Indonesia. Itulah sebabnya kita sering mendengar pertanyaan berkaitan penerapan hukum Islam di Indonesia, apakah negara kita adalah negara berdasar agama atau bukan.
Pertama, untuk menjawab pertanyaan tersebut, lihat pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan, “Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu artinya negara mengakui keberadaan agama-agama yang tertulis dalam kitab suci. Berdasarkan konstitusi ini, negara tidak mengakui secara khusus hanya satu agama.
Jadi Islam memang tidak tertulis secara eksplisit sebagai agama resmi negara dalam UUD 1945, akan tetapi tetapi keberadaannnya diakui oleh negara. Oleh karena itu, hukum Islam sebagai salah satu hukum yang dilindungi pemerintah bisa diterapkan dan terintegrasi ke dalam sistem hukum Indonesia (HukumNasional).
Kemudian, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang diadopsi dari hukum Islam. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah berdasarkan hukum agama yang dianut oleh masing-masing pemeluknya (Islam). Itu artinya status perkawinan bisa dinyatakan sah (diakui negara) jika mengikuti prosedur yang ditentukan oleh agama masing-masing. Dengan aturan itu, jika seorang muslim menikah maka ia mengikuti prosedur yang disebut akad nikah. Demikian seterusnya, berlaku terhadap hukum-hukum lainnya.
Kedua, jika dibandingkan antara peraturan perundang-undangan yang ada di dalam Burgerlijk Wetboek dan Hukum Islam. Sebagai contoh, hukum tentang muqashah dalam hukum Islam adalah hampir serupa dengan hukum kompensasi dalam BW. Oleh karena itu, kalau kita telusuri sejarah terbentuknya BW, ia berasal dari hukum sipil (Code Civil) Napoleon Boneparte. Code Civil berasal dari dua sumber yaitu Hukum Romawi (Rome Law) dan hukum Islam. Hukum Romawi sendiri yang dikenal sebagai Codex Justinian’s atau Justinian Corpus Juries Civilies sesungguhnya berasal dari hukum Islam, yaitu Fiqh islam yang ditulis oleh Abdullah As-Syarqawi yang dikenal sebagai Rektor Al-Azhar Mesir.
Ketika Napoleon menguasai Mesir, ia meminta As-Syarqawi untuk membantu tim Perancis membentuk hukum sipil. Karena itu bayak kita jumpai sejumlah item dalam BW yang identik dengan hukum Islam. Apabila dijumpai ada bagian yang berlawanan dengan hukum Islam, itu berasal dari hukum Romawi. Hukum Romawi berbeda jauh dari hukum Islam terutama berkaitan status wanita, mas kawin, adopsi, hutang-piutang, dan sebagainya.
Ketiga, kalau kita cermati sumber hukum Islam dan relevansi antara al-ahkam al-khamsah dalam upaya menciptakan kebenaran dan keadilan, akan dijumpai tidak kurang dari 228 aturan hukum yang terdapat dalam al-Quran, yaitu tentang hukum keluarga (perkawinan dan warisan), hukum perjanjian, hukum ekonomi, hukum pidana, hukum pemerintahan, hukum internasional, dan hukum acara. Sedangkan as-sunnah atau hadits sendiri merupakan pelengkap dan penjelasan dari apa yang ada dalam al-Quran.
Islam mengklasifikasikan norma dasar yang berasal dari al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad kepada lima kategori, yaitu wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram yang dikenal dengan al-ahkam al-khamsah. Misalnya hukum asal perkawinan adalah sunnat, tetapi karena latar belakang dan kondisi tertentu hukumnya bisa berubah menjadi makruh bahkan haram.
Keempat, kalau kita gali teori-teori tentang keberadaan dan masuknya hukum Islam di Indonesia,setidaknya ada tiga teori yang populer, yaitu receptio in complexu, receptie, dan receptio a contrario.
Receptio in complexu menyatakan bahwa hukum Islam dilaksanakan secara total oleh muslim. Sebagai akibatnya, hukum Islam harus diterima secara total oleh masyarakat sebab mereka sudah mengakui Islam sebagai agama mereka , meskipun dalam pelaksanaannya tidak bisa dilaksanakan secara sempurna. Kemudian teori ini mempengaruhi diterimanya hukum Islam sebagai hukum yang terpadu dalam masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda.
Teori ini dipelopori oleh L. W. C. Van Den Berg. Menurutnya mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam sehingga hukum Islam mempengaruhi norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan teori berikutnaya disebur dengan teori receptie. Maksudnya hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat snouck Hurgronje ini diberi dasar hukumnya dalamUndang-Undang Dasar Hindia Belanda yang disebut dengan IS. Dalam IS hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 IS ayat (2), stbl. 1929 berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam ahan diselesaiakan oleh hakim agama Islam, apabila hukum adat mereka meghendakinya dan sejauh itu tidak tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.
Namun teori ini ditolak oleh Hazairin. Ia mengatakan bahwa teori tersebut adalah teori setan (devil theory). Menurutnya setelah merdeka, teori receptie sudah tidak berlaku lagi, tidak dilaksanakan dan harus dikeluarkan dari konstitusi dan kebijakan pemerintah Indonesia. Karena dengan kemerdekaan itu, UUD 1945 resmi menjadi dasar negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 29).
Itu artinya negara wajib membentuk sistem hukum nasional yang bersumber dari norma agama. Norma-norma agama yang terintegrasi ke dalam sistem hukum nasional Indonesia tidah hanya hukum Islam, tetapi juga norma-norma agama yang dilindungi oleh pemerintah dan mengikat pemeluknya. Aturan-aturan agama di dalam bidang sipil dan kriminal bisa diserap ke dalam sistem hukum nasional Indonesia yang merupakan sistem hukum baru berdasarkan Pancasila.
Sedangkan teori yang muncul kemudian yaitu receptio a contrario. Teori ini bertentangan dengan receptie yang menyatakan bahwa bagi muslim yang melaksanakan hukum Islam, maka yang hal yang dilakukan tersebut adalah sesuai dengan pengakuan, tujuan moral dan spiritualnya. Hukum adat bisa dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Teori receptio a contrario didasarkan kepada pemikiran bahwa Indonesia adalah negara bebas merdeka dalam keharmonisan berlandaskan hukum dan moral spiritual. Itu berarti harus ada kebebasan untuk menjalankan hukum agama.
Penerapan Hukum Islam Dengan Mengambil Sumbernya dari Nilai-nilai Islam
Hukum Islam benar-benar menjadi sumber hukum nasional, dalam pengertian nilai-nilainya dirumuskan ke dalam hukum tertulis yang berlaku di Indonesia. Menurut Padmo Wahjono, hukum Islam yang bersumber dari nilai-nilai agama Islam tersebut dirumuskan oleh para penyusun ke dalam UUD 1945. Beberapa rumusan tersebut misalnya:
a. Rumusan tentang ide bernegara bangsa Indonesia yang terdapat dalam alinea ke-2 dan ke-3 pembukaan UUD 1945. “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”
Rumusan ini jelas menunjukkan adanaya nilai-nilai Islam jika kita ingat bahwa yang menjiwainya adalah Piagam Jakarta. Rumusan ini tidak bersifat sekuler sebagaimana rumusan Rousseau yang liberal tentang negara yang beranggapan bawna negara adalah hasil perjanjian individu-individu yang bebas. Jadi rumusan Indonesia lebih integral.
b. Rumusan tentang kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1) bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukumdan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali. Hal ini berbeda dengan rumusan dalam sistem liberal, yang hanya menekankan equality before the law dalam hal ruleof law. Bangsa Indonesia juga menegaskan kewajiban untuk mematuhinya dan menjamin kesamaan kedudukan di dalam pemerintahan. Menurut hemat kami, ini adalah nilai-nilai Islam.
Menurut Padmo lagi, lebih ideal karena kita menarik nilai-nilai dari suatu pengaturan (hukum positif) masa lampai untuk mendapatkan asas-asas yang kemudian kita rumuskan sebagai pengaturan (induktif) bagi semua warga negara, atau kita menarik langsung nilai-nilai kehidupan dari al-Quran, kemudian kita jabarkan dalam asas dan pemgaturan bagi semua warga negara (deduktif). Cara-cara inilah yang yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Islam di masa lampau sehingga hukum positifnya benar-benar sesuai dengan situasi, kondisi, serta aspirasi rakyat, dari pada sekedar mengambil alih hukum positif dari kurun waktu sebelumnya.
Dengan demikian kita dapat menghindarkan dua kecenderungan yang menurut pengamatan kami sering terjadi, yaitu: a. Kita mempermasahkan hukum Islam secara sekuler, dalam arti sekedar mengesahkan dan tidak perlu ikut campur di dalam hal materinya. Cara ini tampak pada politik hukum zaman kolonoal. b. Kecenderungan kedua ialah memandang hukum Islam sebagaimana layaknya di negara agama, yang di negara tersebut pendapat para ulama lebih diutamakan dari pada aspirasi rakyat. Padahal masalahnya berkenan dengan hukum yang ditangani manusia awam, bukan nabi.
Dalam hukum nasional, hukum agama adalah unsur hukum dan badan hukum, bahkan jiwa dan ruh hukum nasional. Ismail Suny berpendirian bahwa “hukum Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Hukum agama, bersama dengan hukum adat dan hukum barat, dapat dimanfaatkan untuk menciptakan hukum tertulis dalam upaya menjamin kepastian hukum dalam sistem hukum nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada keinginan kuat masyarakat Indonesia untuk berhukum dengan hukum agama atau hukum Islam.
Cita-cita batin, suasana kejiwaan, dan watak rakyat Indonesia banyak dibentuk oleh ajaran agama. Dari pengalaman pembentukan berbagai peraturan perundang-undanagn nasional, dapat gambaran bahwa ajaran agama dan ketentuan-ketentuan hukum agama dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah hukum nasional. Terbukti pula bahwa hukum agama (Islam) ada dalam hukum nasional Indonesia.
Bentuk-bentuk hubungan antara hukum agama dan nasional memiliki tiga pola, yaitu; (1) hukum agama, khususnya untuk kaum beragama tertentu, (2) hukum agama masuk ke dalam hukum nasional secara umum yang memerlukan pelaksanaan khusus, (3) hukum agama masuk dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi sekuruh penduduk Indonesia.
Dalam proses pembentukan hukum nasional Indonesia terdapat kecenderungan semakin menguatnya hukum agama. Hukum agama berada dalam sistem hukum nasional Indonesia, termasuk hukum Islam yang ada di Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam UUD 1945 yang membolehkan setiap warga negara untuk mengimplementasikan norma dan hukum agama dan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hukum Islam baik material maupun formal diakui keberadaanya di Indonesia.
Misalnya perundang-undangan yang menerapkan hukum Islam antara lain Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Zakat, Undang-Undang Wakaf, Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan sebagainya.
Ada juga peraturan perundang-undangan lainnya yang secara tidak langsung mendapat pengaruh dari hukum Islam, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Pendidikan Nasional, Undang-Undang Perbankan, dan lain-lain.
Ada empat faktor yang mempengaruhi posisi dan keberadaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional Indonesia, yaitu sejarah, demokratisasi, sosiologi, political will pemerintah dan parlemen.
Hukum Islam sangat berperan dalam pembangunan hukum nasional yang sekurang-kurangnya bisa tampil dalam tiga bentuk. Pertama, hukum Islam tampil dalam bentuk hukum positif yang hanya berlaku bagi umat Islam. Dalam hal ini hukum Islam berperan mengisi kekosongan hukum dalam hukum positif.
Kedua, hukum Islam berkontribusi bagi penyusunan hukum nasional sebagai sumber nilai. Dalam hal ini nilai-nilai luhur yang terkandung dalam hukum Islam menjadi lebih luas peranannya untuk mewujudkan kemaslahatan bangsa dan negara tanpa membedakan agama. Ketiga, hukum Islam bertujuan untuk rahmatan lilamin. Disamping sebagai sumber nilai, ia juga dapat mengarahkan peraturan perundang-undangan yang ada agar pelaksanaan hukum Islam diberikan jaminan hukum di dalamnya.
Upaya untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia hendaknya terus dilakukan melalui ketiga bentuk di atas ataupun dengan bentuk-bentuk lain yang memungkinkan sesuai dengan kondisi sosiologis dan budaya masyarakat Indonesia. Dengan melihat kenyataan yang ada, dari ketiga bentuk tersebut, penerapan hukum Islam dalam bentuk kedua dan ketiga lebih cocok untuk dilakukan di Indonesia. Selain karena negara Indonesia bukan negara agama, kita juga menginginkan agar hukum Islam memberikan kontribusi yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia.
HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL
INDONESIA
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut
berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan
mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang
Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara.
Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam
hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum,
sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang
terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah,
saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan
harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para
peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin
sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum
Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah
hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad
yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat
dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan
koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum
Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah
pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah.
Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang
berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul
Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih.
Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke
negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam
beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya
dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan
al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi,
anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam
menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka
taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat
tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh
ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh
mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat
itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan
sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk
melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat
dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa
politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak
peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa
lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan,
Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta,
Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan
kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam.
Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga
telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan
hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga
membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya
kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga
dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh
masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik
formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar
Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat
oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.
Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai
penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni
orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang
tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia
itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka
beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih
menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu
daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat
orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani
berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum
Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar
diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih
hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda
mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar
pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa
hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah
tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium
Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium
Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab,
diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya
menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil
dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek
yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa
itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan
kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara
di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa,
Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata
pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat
lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan,
seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan
Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara.
Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada
penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan
pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata
lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam
dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di
bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan
dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di
Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di
Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan
di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan
ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni
pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa
hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju
harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai
tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan”
hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh
pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas
antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya
serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini
sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah
Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan,
atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat
ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum
Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan
menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka
kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131
jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa
bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda
untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina
dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat
suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang
dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap
sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi
yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori
resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu.
Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli
hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi
hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap
menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam
dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran
jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara
Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti
disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus
pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya
ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD
1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam
sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan
bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di
dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan
mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik
Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut
pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan
penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu.
Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan
negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan
peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau
Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah
militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk
negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat
keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum
sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang
baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik
di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur
pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi
negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang
hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru
di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma
hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi
kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat
lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman,
kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan
persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma
hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata
peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan
perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang
dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek
van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma
hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan,
sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk
memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan
Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah
memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun
2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita.
Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua
undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar.
Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang
bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka
undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian
maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum,
undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah
sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif,
dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah
selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm
positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar
itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada
umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan
sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi
warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak
tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik
penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang
hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar
yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis
itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum
positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk
pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita,
komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan
kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh
bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu
bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita
rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis
bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa
kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari
sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat
perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas,
timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya
maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban
atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud
dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita
membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam,
fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada
perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat
bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith
itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian
yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi
syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang
secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus
membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan
kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti
ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka
kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di
bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228
ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di
bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat
al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih
bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung,
apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di
sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum
sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain
seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang
pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang
dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah
hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa
hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah
perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami
pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan
fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para
ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula
dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma
syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan
atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam,
yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah
melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli
hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat
al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan
dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau
mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial
masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam
juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha
kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama
akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum
Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan,
ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke
wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk
masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan
Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di
zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk
membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga
kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab
fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk.
Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka,
misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat
saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara
yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut
Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima.
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu,
saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum
yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara
ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada
hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa
perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara
menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah
hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut
hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan
juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad
misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat
diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang
dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum
peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara
untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum
perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama
Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan
zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan
seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan
pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah
bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan
kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI,
ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara
merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan
hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati
adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang
hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu
masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui
secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah
sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di
sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika
sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada
masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar
keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama.
RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam,
sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya
adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu
saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi
warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri
kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang
Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif.
Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan
tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan
perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan
dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya
di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di
dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir.
Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya
(delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik,
tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan
kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya,
karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada
perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan
maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk
pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita
melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya
mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa
Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah
syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih
memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam
kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah
delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan
berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan
sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya
ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam
syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam
untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat
mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana
penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara
disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat
kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam,
sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan
di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum
Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah
harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di
suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu
mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas.
Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman
hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di
dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi
masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh
Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah
menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam
merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak
mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka
menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh
orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda,
dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana
perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam
pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan
seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas
sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang
merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan
oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan
orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di
luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan
kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda
ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka
mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil
jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar
di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih
Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia
adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan
kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku.
Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum
sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan
dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di
bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara
dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan
aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber
hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum
Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi
juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan
dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi
internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika
hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional
kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan
kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat
dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia,
katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum
Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber
hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita
ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan
bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai
sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia
sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali
negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum
nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas
menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan
hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang
menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum
Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh
dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi
saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup
dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum
positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri.
Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita
akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada
rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya
bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala
persoalan.
HUKUM ISLAM DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM NASIONAL
INDONESI
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada pimpinan
Fakultas Syari‘ah Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya
untuk ikut berpartisipasi dalamseminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara
yang diselenggarakanmulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya
adalah ahli dibidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya
adalahhukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalahtransformasi
syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titiksinggungnya dengan hukum tata
negara, sejarah hukum, sosiologi hukumdan filsafat hukum kiranya jelas
keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian
akademis saya selama ini. Sebab itulah, sayamemberanikan diri untuk ikut
berpartisipasi dalam seminar ini, denganharapan, sayapun akan dapat belajar
dari para pemakalah yang lain danpara peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura
tawaddhu‟
, karena sayayakin sayapun dapat
berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum
Islam
Sepanjang telaah tentang
sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak
berabad-abad yang lalu, hukum Islam itutelah menjadi hukum yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Islam dinegeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu,
dapat dilihat dari banyaknyapertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui
majalah dan koran,untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti
tentanghukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang
isinyaadalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahasberbagai
masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa,
yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukumIslam. Kaum Nahdhiyin mempunyai
Al-Ahkamul Fuqoha
, dan kaumMuhammadiyin mempunyai
Himpunan Putusan Tarjih
. Buku Ustadz
Pelaksanaan hukum Islam juga
dilakukan oleh para penghulu dan parakadi, yang diangkat sendiri oleh
masyarakat Islam setempat, kalauditempat itu tidak dapat kekuasaan politik
formal yang mendukungpelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar
Batavia padaabad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat
olehmasyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaanBelanda.
Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah parapendatang dari berbagai
penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa,budaya dan hukum adatnya
masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula
komunitas ―orang
-
orang Moors‖ yakni orang
-orang Arab dan India Muslim,di
samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruksekarang
ini.Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orangBetawi di
masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agardapat bergaul antara
sesama mereka, mereka memilih menggunakanbahasa Melayu. Sebab itu, bahasa
Betawi lebih bercorak Melayu daripadabercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka
membangun mesjid danmengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang
ajaranIslam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikansengketa
di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampunghalamannya
masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karenapenduduknya yang beraneka
ragam. Mereka memilih hukum Islam yangdapat menyatukan mereka dalam suatu
komunitas yang baru.Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar
tembokkota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa danMusium
Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku diBatavia itu,
maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukumIslam, dan akhirnya
mengkompilasikannya ke dalam
Compendium Freijer
yang terkenal itu. Saya masih
menyimpan buku antik CompendiumFreijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda
dan bahasa Melayu tulisanArab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini
tenyata, bukan
rakyatnya sendiri. Demokrasi harus
mempertimbangkan hal ini. Jikasebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara
otoriter yangmemaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.Demikianlah uraian
saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.Akhirnya hanya kepada Allah jua,
saya mengembalikan segala persoalan